Hanya Sedang Merindukannya Saja

Begitulah kira-kira penampakan si Miung yang saya gambar beberapa tahun yang lalu. Yap, Miung, kucing saya yang sudah kurang lebih 14 tahun yang lalu menghadap Yang Kuasa. Sungguh kucing yang santun dan tidak neko-neko *ya paling-paling sih cuma cluthak, selebihnya dia tidak pernah rewel atau nakal.

“Huks.. Miung.. Bertahun-tahun sudah kita berbeda alam ya Yung. Semoga kamu tenang disana.”

Singkat cerita, Miung merupakan seekor kucing kampung yang saya pelihara sewaktu saya masih renik-renik *masih kecil maksudnya. Saking masih kecilnya, saya sampai lupa bagaimana awal kisah pertemuan kami. Seingat saya, saya mempelihara Miung sejak ia masih kanak-kanak. Sempat waktu Miung beranjak remaja, ibu saya membuang Miung di pinggir jalan *mungkin karena jengkel sama Miung, maklum lah kenakalan remaja. Waktu itu kejadiannya malam hari, tanpa sepengetahuan saya, ibu dan ayah saya memasukkan Miung ke dalam karung, katanya sih biar Miung tidak tahu jalan pulang. Kemudian ditinggalkanlah Miung di pinggir jalan di ring road selatan. Mendapati hal tersebut, saya sangat sedih dan terpukul. Namun, mungkin karena memang kami masih berjodoh, keesokan harinya si Miung pulang ke rumah *wow!

Akhirnya, ayah dan ibu saya pun menyerah, dan memperbolehkan saya tetap mempelihara Miung. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kami hidup bersama mengarungi bahtera kehidupan dalam satu atap. Bahkan walaupun sudah saya buatkan singgasana tersendiri untuk Miung, dia selalu saja menyusul saya ke kamar dan nimbrung tidur di tempat tidur saya. Dia selalu ngruwel di kaki saya *ya ampun Yungg

Dan ketika dia sudah beranjak dewasa, tibalah saatnya dia mengandung. Saya tidak tahu siapa ayah dari bayi dalam kandungannya. Saya buatkan tempat tidur khusus yang terbuat dari kardus dan berlembar-lembar kain. Dua bulan sudah, dan yak.. saatnya melahirkan. Waktu itu, saya membantu proses persalinannya. Miung melahirkan tiga ekor anak kucing yang menggemaskan *kaya ibunya.

Namun, belum genap satu tahun usia anak-anaknya, maut sudah merenggut nyawanya. Kajadiannya adalah siang hari. Sepulang sekolah (saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3) setelah saya berjalan kaki dari tempat pemberhentian bus, sampailah saya di halaman rumah saudara saya. Niatnya sih saya mau main. Dan ternyata, saya mendapati si Miung tergeletak di bawah pohon sawo. Saya mendapati Miung tak sadarkan diri dengan busa keluar dari mulutnya. Astaga! Seketika saya merasa shock. Saya langsung berusaha menyadarkan Miung. Namun nihil. Miung sudah berpulang ke Rahmatullah. Dengan segenap jiwa raga saya, saya kuburkan Miung di halaman belakang rumah saya.

Sejak saat itu, saya mengasuh ketiga anak-anak Miung yang akhirnya pada ilang sendiri-sendiri entah kemana. Mungkin mereka merasa sudah dewasa dan memutuskan untuk merantau. Setelah kepergian anak-anak Miung, saya tidak mempunyai kucing satu ekorpun. Sampai saat ini. Tetapi saya cukup terhibur dengan adanya kucing-kucing tetangga yang suka mampir ke rumah.

Hmm.. Begitulah kiranya suara hati saya yang merindukan sosok Miung *halah. Bukan apa-apa, hanya sedang merindukannya saja. Terima kasih sudah mampir *kalau ada yang mampir sih 😀

Leave a comment